POS KUPANG.COM – Dari mana datangnya jeruk keprok SoE? Dari China atau Belanda? Ya.. hingga kini asal usul buah yang memiliki rasa asam manis ini memang masih misteri. Sebagian orang mengatakan asal bibit jeruk SoE dari Belanda, tapi ada juga yang mengatakan dari China.

Satu versi mengatakan, bibit jeruk keprok SoE dibawa oleh bangsa Belanda saat zaman penjajahan dahulu. Bibit jeruk ini pertama kali disemaikan di kaki Gunung Mutis. Saat tunas tumbuh orang Belanda membagikan tunas jeruk keprok SoE ini kepada masyarakat sekitar untuk ditanam di kebun masing-masing. Jumlahnya masih terbatas.

Namun hal itu ditentang oleh Raja Molo saat itu. “Raja Molo khawatir kalau tumbuhan itu berkembang, maka orang Belanda akan menjajah wilayah Molo. Karena itu, Raja Molo memerintahkan kepada masyarakat untuk secara diam-diam menyirami tanaman tersebut dengan air panas sehingga tanaman itu mati,” kata Martinus Banoet (72), petani jeruk keprok SoE, asal Desa Bose, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Upaya memusnahkan jeruk itu tidak sepenuhnya berhasil karena masih ada satu dua pohon jeruk yang masih hidup. Dan dari situlah biji jeruk keprok kemudian dibudidayakan di daerah SoE sejak tahun 1990-an. “Puncaknya pada tahun 1996, saat panen raya jeruk keprok SoE di Desa Bosen yang dihadiri perwakilan lima negara asing, di antaranya Thailand, Swiss dan Italia,” kata Martinus, Kamis (28/8/2015).

Cerita lainnya dikemukakan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten TTS, Otnial Neonane. Menurutnya, orang tua-tua dulu menceritakan bahwa jeruk SoE itu dibawa oleh para pedagang China yang datang ke Tobu melalui Eban. Saat itu mereka membawa buah jeruk sebagai bekal dalam perjalanan.

Tiba di Tobu, jeruk yang sudah dimakan itu, bijinya dibuang ke tanah dan akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi jeruk keprok SoE. “Itulah sebabnya jeruk keprok SoE disebut juga Lemon China,” kata Otnial.

Pantauan Pos Kupang, mulai bulan Juli sampai Agustus, sejumlah pohon jeruk yang berada di halaman pekarangan rumah warga di Kota SoE dan sekitarnya mulai berbuah, bahkan siap dipanen. Beberapa dahan dan ranting pohon jeruk yang masih berbuah tampak ditopang kayu, untuk menahan beban berat buah jeruk. Begitupun di beberapa rumah wara di Desa Bose, Desa Tobo, Desa B’jeli dan Desa Nepala.

Di beberapa tempat seperti di Km 3 dan di Pasar Buah, di sepanjang Jalan Timor Raya, di Km 5 arah Kupang serta di Jalan El Tari dan Pasar Inpres SoE, pedagang menjajakan jeruk keprok SoE. Sedangkan di desa-desa, jeruk dijual pada saat hari pasar mingguan.
Harganya satu kumpul (empat buah) berukuran besar Rp25.000, ukuran sedang Rp. 20.000 dan ukuran kecil seharga Rp. 10.000. Sementara itu di Kota Kupang, 2,5 jam dari Kota SoE, jeruk keprok SoE dijual dengan harga Rp 40.000 sampai Rp 50.000/kg.

Sejumlah petani jeruk, Lasarus Faot (41) Yulius Mantonas, Yohanis Misa, Yefta Banoet, Jitron Faot, Yonatan Faot, Imanuel Faot, bersama PPL, mengatakan, dia dan kelompok tani Tunas Muda, sudah memiliki sekitar 600 pohon tanaman jeruk keprok SoE pada lahan seluas enam hektar. Mereka didampingi oleh PPL sehingga hasil panen jeruk bisa terjaga secara kuantitas maupun kualitas.

Ia mengatakan, panen pertama dilakukan saat tanaman berusia tiga tahun dan buah pertama berukuran kecil dan rasanya asam. Barulah setelah tiga kali panen pada tiga tahun selanjutnya, akan menghasilkan buah jeruk yang berkualitas. Satu pohon jeruk bisa menghasilkan 200 buah sampai 700 buah, tergantung asupan air dan pupuk yang diberikan. “Kami rutin didatangi petugas penyuluh pertanian. Kami juga mendapatkan bantuan bibit, pupuk, bak penampung dan cangkul,” kata suami dari Helena Pay, ini.

Sistem Ijon

Penjualan jeruk keprok SoE dilakukan dengan sistem ijon, di mana pembeli membeli langsung perpohon, dengan harga berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Karena itu, mereka tidak perlu repot ke pasar untuk menjual jeruk. Martinus Banoet mengaku tanggal 26 Juni 1996, dia pernah melakukan panen raya untuk 1.500 pohon jeruk keprok SoE miliknya. Tahun 2005, Martinus bersama tiga petani lainnya yakni Lewi Membubu dari Desa Tobo, Lodowrik Mella dari Desa B’jeli dan Martinus Eni dari Desa Nepala, diundang bertemu dengan Presiden Megawati Soekarnoputri di Pasir Putih, Timor Leste.

“Saya kaget tiba-tiba saja ada pegawai pak bupati yang datang memberitahu kalau ibu Megawati ingin bertemu saya di Pasir Putih. Saya senang bukan main mendengar informasi tersebut. Beberapa hari kemudian dua mobil hardtop datang menjemput saya dan tiga petani jeruk lainnya menuju Timor Leste,” kenang Martinus.

Selama lima jam, Megawati memberikan motivasi agar mereka bisa terus mengembangkan jeruk keprok SoE itu. “Saya katakan kepada beliau kalau saya ini buta huruf, hanya sekolah pemberantasan buta huruf (PBH) saja. Saya bilang ke ibu Mega, ilmu pertanian tidak bisa hanya dengan omong saja, tetapi harus turun kerja di lapangan. Mendengar itu beliau langsung terdiam dan tersenyum,” tutur Martinus, yang kini memiliki 500 pohon jeruk keprok SoE di lahan seluas 10 ha itu.

Seusai pertemuan, mereka mendapatkan uang Rp 2,5 juta sampai Rp 4 juta. Martinus, Lasarus dan petani lainnya bertekad akan terus mengembangkan jeruk keprok SoE sehingga jeruk ini bisa terkenal di luar SoE hingga dunia.

Lain petani, lain pula pedagang jeruk keprok SoE, Steven Tlonain (31), penjual jeruk keprok SoE di Km 3 Jalan Timor Raya, mengatakan, rasa jeruk SoE memang khas, dominan manis bercampur asam. “Rasanya masih tetap sama, meskipun ada yang lebih asam. Kalau ukurannya, dulu ukuran jeruknya besar-besar, bisa melebihi ukuran bola tenis lantai. Tetapi sekarang, ukuran jeruk keprok SoE ini jauh lebih kecil,” kata Steven.
Steven mengambil jeruk itu dari tangan papalele di Mollo Utara. “Biasanya papalele memiliki modal besar sehingga mereka langsung beli dari pohonnya. Saya ini tangan ketiga,” kata suami dari Yermince Selan. Menurut Steven, harga jual jeruk keprok SoE bervariasi mulai dari yang berukuran besar untuk satu dos bimoli dijual Rp 350.000 -Rp380.000. Sedangkan jeruk ukuran kecil harga jual per dos bimoli Rp 200.000.

Pembeli jeruk selain orang SoE, ada juga dari Kupang, Kefamenanu dan Atambua. Mereka umumnya membeli jeruk keprok SoE sebagai oleh-oleh khas dari SoE ketika berkunjung dan melintasi Kota SoE. “Dalam sehari pendapatan saya bisa mencapai Rp 1 juta jika sedang ramai. Kalau sepi, saya hanya dapat untung Rp 500 ribu,” kata Steven.
Untuk meningkatkan promosi jeruk keprok SoE, salah satu caranya, kata Steven, pemerintah harus memperbaiki bangunan lapak jualan pedagang jeruk keprok SoE dengan bangunan permanen yang berlogo.

“Dengan lapak yang permanen, kami bisa lebih nyaman berjualan. Tidak mengapa kalau pemerintah menarik retribusi dari pedagang, asalkan tempat berjualananya baik. Selama ini kami belum ditarik retribusi jualan,” ujarnya.

Hal senada dikatakan pedagang Yuliana Missa (46), yang membeli jeruk keprok SoE dari Mollo Utara dan dijual kembali di Pasar Buah Km 3 SoE. “Kasihan terpal yang kami gunakan sebagai atap sudah robek. Dinding lapak dari bahan bebak juga banyak yang sudah berlubang dan rusak,” kata Yuliana, diamini pedagang Yermi Bansoleh (29).
Albert Saudale, dan Yopsi Suinbala, sopir angkota mengaku senang makan jeruk keprok SoE karena rasanya yang khas, manis bercampur asam. “Biasanya untuk makanan pencuci mulut seusai makan siang atau makan malam,” ujar Albert. (dion kota) Sumber: POS KUPANG

Komentar Anda

Silahkan tinggalkan komentar



Berita Umum ini ditulis pada 31 Agustus 2015 oleh admin